Sabtu, 17 November 2012

Cerpen Dainun



Cerpen Tema Pesantren
Judul : Dainun
Karya :Naila Mustofiyah
Alamat: Bugangan Trasan Bandongan Magelang Jawa Tengah
Dari Pondok Pesantren Ma'ahidul 'Irfan
Soropaten Gandusari Bandongan Magelang



DAINUN

Langit timur masih memerah, surya belum juga menyapa. Hanya cericit riang burung-burung kecil di antara daun-daun mahoni yang berjejer di sepangang jalan. Suara-suara indah yang mulai member kehidupan pagi. Aku melangkah pelan, kaiku basah oleh embun, rumput-rumput hijau itu tersenyum padaku.
“selamat pagi anak manis” sapanya ramah.
Dingin, saat angin pagi turut menyapa, kusimpan tanganku ke dalam saku jaket hijau pudarku. Aku melompat pelan, berlari-alri kecil, melompat lagi dan berlari lagi, hingga tubuhku mulai terasa hangat.
Teori sederhana: “Mesin motor jika dihidupkan dan dibawa berlari, makin lama makin panas. Begitu pula tubuh manusia, ketika bergerak, energy yang tersimpan diubah menjadi tenaga untuk bergerak. Ketika beraktifitas manusia akan berkeringat dan terasa panas”
Penjelasan singkat kakak bantara saat kemah bakti, sebelum menyuruh kami melompat-lompat, berlari, melompat dan berlari lagi di pagi hari yang buta.
“Gila!” pikirku saat itu. Tapi rupanya ilmu kadang justru lahir dari kegilaan-kegilaan yang tidak masuk akal. Seperti ilmuwan Phitagoras Aristoteles saat menemukan rumus. Berawal sari saat ia mandi dan menceburkan diri ke dalam bak mandi yang saat itu sedang penuh. Saat ia masuk sebagian air tumpah terdorong oleh berat badannya. Seketika ia bangkit dan melompat kegirangan tanpa ingat berpakaian, sambil berteriak “Eureka… eureka… eureka”. Dia sampai dianggap gila saat itu, saat ia menemukan ilmu yang sangat bermanfaat hingga saat ini. Dan hari ini harus ku ucapkan terima kasih pada mereka atas kegilaan-kegilaan mereka.

Kakiku masih asyik melompat, berlari dan melompat lagi kemudian berlari, tiba-tiba mataku menangkap seonggok bangkai ular di tengah jalan. Tak lagi berbentuk, terlindas roda-roda kendaraan yang membawa beban berat, hingga bangkai ular yang cukup besar itu kini menjadi gepeng.
Andai gepengan panjang itu dipotong seukuran telapak tanganku, kemudian digoreng dengan dilapisi campuran tepung beras dan tepung kanji, 2:1 ditambah dengan telur 4 butir, pasti akan menjadi keripik yang gurih dan lezat. Sayangnya, tak ada yang berfikir demikian selain aku “Ah, Gila!”
“Harom Ya Syaikh!” teriak hatiku tiba-tiba teringat hardikan guru ngajiku saat kami ketahuan mencuri ayam miliknya. Kami berlima dan aku perempuan satu-satunya dalam kelompok badung itu. Bukannya Sayyidah atau sayyeda untuk panggilan perempuan, namun guruku lebih memilih menggunakan kata Syaikh (sapaan untuk kaum adam di daerah timur tengah). Hatiku begitu sakit saat itu, bukan karena guru ngajiku melupakan keperempuananku tapi karena panggilan dalam bahasa arab itu mengingatkanku pada Negeri Kelahiran Habibullah Muhammad SAW, sebagai Rahmatan Lil Alamien.
Bagaimana mungkin anak sebadung aku bisa bermimpi bertemu Rasulullah? Maka aku insaf dan mulai memperbaiki diri berharap aku belum terlambat. “jika kalian dapat mencapai kelas IX dan menjadi wisudawan/wisudawati terbaik, maka kalian akan diberangkatkan ke Baitullah seperti halnya kakak-kakak yang lain” iming-iming guru ngajiku. Sebuah impian yang telah lama aku simpan dan kupendam sendiri dan kini mulai kulupakan, Mustahil!
Setengah mati aku berjuang, belajar, belajar, dan terus belajar demi meraih nilai terbaik. Setengah mati aku mencoba bertahan dalam ketidak berdayaanku demi mencapai ujung perjalanan dan meraih mimpiku. Namun hari ini tinggal impian belaka. Aku telah terlempar jauh dari impianku, dulu aku tidak pernah rela terlelap dan kini selepas isya aku lelap damai dan bangun dengan keengganan, dan pagi-pagi buta aku telah melompat sendiri seperti orang gila. Seperti pagi ini dan juga pagi yang lain. Menempuh perjalanan jauh, perjalanan yang semu, demi… memalukan jika aku sebutkan….Rupiah. dunia yang memaksaku menjadi pecundang, yang memaksaku melupakan impian agungku, melupakan kewajiban tiap muslim mulai dari bualan hingga lianglahat yaitu “Thalabul Ilmi”
“Ah, muak rasanya membayangkan perjalanan panjangku yang semu ini. Tiada obsesi, tiada spirit, hampa, pasti ini mimpi buruk dan aku pasti akan terbangun dengan impianku”
Kutepuk kedua pipiku, kucubit lenganku yang nyaris hanya tulang dan otot-otot membiru dibalut kulit hitamku. Sakit, ini nyata. Bukan mimpi buruk karena aku tidur tanpa berdoa. Aku tak lagi terbangun dengan penyesalan karena ketiduran terlalu lama. Tapi kini aku terbangun dengan segenap penat dan keengganan “malas rasanya aku terbangun dan mendapati semuanya hanya mimpi buruk, tragis!”
Aku terus melangkah menyusuri jalan yang mulai ramai, hari telah mulai siang. Seluruh tubuhku  kejauhan tempatku mengais rupiah telah tampak bangunan kecil dari kayu bercat hijau pudar. Di depannya bangku bambu tempat nongkrong anak-anak sekolah SD, SMP, dan SMA. Sakit rasanya mengenangkan kegagalanku meraih impian, andai aku boleh memilih, aku tak rela hanya menjadi penonton atas keasyikan diskusi mereka tentang keberhasilan mereka dalam ulangan harian, ulangan semester, ujian nasional, lomba mapel, olah raga, dan yang paling membuatku iri adalah perpustakaan. “rasanya aku ingin sekali ikut bicara, bercanda dan bertukar fikiran bersama mereka”.
Suatu keuntungan bagi kami,letak warung yang strategis, tepat di tepi jalan utama empat sekolah sekaligus,SD N 1 Bandongan,SMP N 1 Bandongan,SMK Muhammadiyah Bandongan dan SMP  Bandongan.di depan warung kami di buka taman bacaan charisma dan di samping kiri kami ada warnet. Jadi warung kami selalu ramai. Dan tak jarang pula beberapa orang guru sering mampir ke warung kami untuk makan siang. Kami memang hanya menyediakan bakso,soto,es buah,es teh dan es jus. Namun kami selalu berusaha mrmpertahankan mutu yang menjadi kekhasan rasa dan  penggemar kami.
Salah satu guru SMP N 1 Bandongan yang selalu setia mampir ke warung kami adalah Pak Toha. Seperti siang ini,Pak Toha tengah asyik menikmati soto ayam kampong yang baru saja kusediakan, sementara aku tengah mencuci piring.
“Nduk,berapa usiamu sekarang ?”
“Dua puluh pak”jawabku santai.
“Berapa tahun kamu bekerja di sini ?”
“Hm……kira – kira satu setengah tahun”
“Kalau seandainya ada lowongan kerja di Malaysia gimana ?”
“Wah,tentu saja saya mau sekali. Tapi saya tak pernah pergi jauh,takutnya bapak ga’ boleh”
“Nanti biar bapak yang “matur” sama bapak kamu,gimana ?”
“Beneran nih pak? Saya ga’ mimpi kan ?” tanyaku girang tak dapat kusembunyikan kebahagiaanku. Sepeninggal Pak Toha aku menangis saking bahagianya. Hingga teman sepekerjaanku yang baru saja belanja keheranan melihatku menangis hingga tak mampu berkata lagi. Luar negeri, Malaysia, Naik bus besar,Naik pesawat,Pergi ke Bandara,Bertemu turis.Oh Tuhan, benarkah ini? Ataukah Engkau hanya menggodaku ?”
  Aku tak pernah pergi jauh dari desa kecilku,kecuali saat study tour ke jepara,kota kelahiranku pelopor emansipasi wanita. Sang Pemerjuang hak dan keseteraan derajat R.A. Kartini. Yang terkenal dengan bukunya”Habis Gelap Terbitlah Terang”yang berisi surat – suratnya kepada teman – temannya di Belanda.
Pergi ke kota, perjalanan jauh penuh kenangan yang tak akan pernah kulupakan. Dan sekarang Malaysia. Betapa jauh dan melelahkannya.
  Robby…..inikah jalanku…..
  Ataukah Engkau hanya menggodaku
  Sang pecinta dunia. Aku percaya ini takdir-Mu
  Dan engkau ibarat sutradara
  Sementara aku hanyalah pelaku scenario
  Robby …..tunjukkan jalan terbaik untukku
  Mengapa…..dunia semakin kukejar makin menjauh
  Makin sulit,hingga harus ke negeri orang.
Wajahku berseri,saat aku pulang dank u lihat Pak Toha tengah berbincang dengan Bapak di ruang depan. Begitu melihatku, bapak segera menyuruhku bergabung bersama mereka. Kulihat wajah Bapak sedikit pucat.”Ada apa Pak?”aku mulai khawatir dan hanya bertanya dalam hati. “Maaf. Nduk,Bapak tahu kamu sangat menginginkannya dan Bapak pun demikian. Tapi bapak tak tega. T adi kami telah meminta Pak Lek dan Pak De - Pak De mu. Mereka keberatan. Mereka tak sanggup melepasmu mengembara sendiri di negeri orang. Terlebih kamu perempuan.”
  “Tapi Pak !”ujarku memohon sambil kupeluk lengan Bapak yang hanya tulang.
  “Maaf Nduk, bapak telah berusaha . tapi kita punya keluarga yang dengan mereka kita harus bermusyawarah dalam memutuskan suatu masalah. Mungkin ini bukan rezeki kita. Mungkin Allah hanya menguji kita. Sabar ya Nduk !”kata Bapak sambil membelai kepalaku.
Aku kecewa,sangat kecewa. Namun,aku tak mampu mengungkapkan. Hatiku terlalu sakit, hingga meneteskan air matapun aku tak sanggup. Masih terbayang bagaimana aku pulang dari pesantren dengan seluruh hidupku,dua kardus kitab – kitab dan buku sekolahku, satu tas besar pakaian sehari – hari san seragam pesantren dan sekolah. Saat itu pun aku tak mampu menangis dan berkata – kata. Saat teman – teman mengantarkan hijrahku. Mereka menangis,tapi hatiku terlalu sakit untuk sekedar meneteskan air mata.
“Maaf Nduk,hanya itu yang Bapak ucapkan.
Terbayang wajah – wajah adikku,senyum mereka,tawa mereka.
“Kakak,Titi pengin menghafal Al-Q   ur’an”
“Kakak,Dewi pengin jadi dokter”
“Kakak,Lulu pengin penulis terkenal”
“kakak pengin jadi apa ? “Tanya titi, yang paling kecil, tiba – tiba hatiku merintik hujan mendengar, polosnya.
“kakak pengin jadi saudagar kaya – raya seperti istri rosululloh, sayidah khotijah .R.A. Do’akan ya! Nanti kalau uang saku adik,bisa minta sama kakak .” kataku sambil memaksakan senyum terindahku.
            Menunggu…….. Oh ,rasanya………….
            Waktu hanya berjalan ditempat saja
            Tak beranjak……… tak merambat
            Dan aku ……….
            Hampir binasa dicekik asa
Harap yang terus bergelora
Membakarku hidup-hidup
Melemahkan seluruh sendiku
Membuatku seakan hampir meledak
Dii dera putus asa
Dainun……..tanggungan………
Robby………tolong aku
Apa yang harus kulakukan …….
Aku seperti hamper gila.

Kembali kurangkai asa. Hari-hari seolah hanya dipenuhi kesia-siaan . Mengejar dunia,dunia …..dunia……hanya dunia. Tidak ini jihat  “Wahai dunia barang siapa mengejarmu, maka tinggal kan lah dia dan barang siapa mengejar – KU, maka layanilah dia”
Samar, masih ku ingat sebuah kata mutiara yang pernah ku baca saat masih di pesantren, saat aku masih dalam buaian impian terindah ku.”Tholabul ‘Ilmi” Kata mutiara yang dulu ku baca sambil lalu itu kini menancap tepat di ulu hati ku.
            “Tabungan yang tak jua bertambah
            “ Kebutuhan yang makin meningkat
            Dan tanggungan justru kian menumpuk
“Oh,dunia meninggalkanku karena aku mengejarnya.Dunia lari ketakutan melihatku. Robby……aku hanya ingin memperjuangkan kematian kami. Kami tidak ingin saat jatah rizki dan nafas kami habis, kami masih terjerat tanggungan. Dan tak ada yang bersedia menshalatkan kami. Jika rosululloh tak bersedia menshalatkan orang yang masih punya tanggungan, apalagi umatnya. Kecuali jika ada yang telah bersedia menanggungnya. Dan kami tak yakin saat kami tak lagi bernafas ada orang yang bersedia menanggung tanggungan kami. Mengingat siapa kami dan banyaknya tanggungan kami. Dan jika ada tentu ia orang yang berhati mulia. Namun, selama hayat masih di kandung badan kamki akan terus berjuang berikhtiar. Dan engkaulah yang berhak menentukan akhir dari perjuangan kami.
Siang begitu terik,keramaian dan kegaduhan anak-anak SD N Bandongan baru saja usai saat bel tanda masuk setelah istirahat 2 berbunyi. Warung mulai sepi tinggal kebisingan lalu-lalang kendaraan yang masih tiada jemu menyumbah polusi suara dan polusi udara.
Aku duduk menselonjorkan kaki,melepas lelah dan penat sambil menuggu Fizki menyapa. Hari ini aku menjaga warung seorang diri wati tidak masuk karena sakit,sementara sang pemilik warung pergi belanjabersama suaminya. Aku masih asyik dengan lamunanku saat tiba-tiba saja Bapak muncul di depan pintu dengan rau kelelahan. Namun,matanya tampak berbinar-binar. Sepertinya Bapak membawa kabar gembira untukku.
            “Assalamu’alaikum”
            “Wa’aliakumsalam warohmatulloh wabarokatuh”
            Aku segera bangkit,kucium tangan kurus Bapak dengan ta’zim.
Kulihat Bapak membawa selembar kertas. Bapak menyerahkannya padaku.
“Nduk,Alloh itu Maha Tahu,Maha Pemurah. Alloh tak akan membiarkan hambanya yang ikhlas menderita. Alloh akan menunjukan jalan terbaik untuk kita. Bukalah,tadi Bapak bertemu Pak Tono,beliau berniat mencari pegawai baru dan beliau menawarkannya pada Bapak.
 Bapak sudah musyawaroh dengan keluarga. Dan mereka tidak keberatan. Kamu hanya diharuskan membuat lamaran pekerjaan dan akan langsung diterima. Kamu harus berebut peluang dengan pelamar lain. Allah memudahkan kita karena niat kita lurus,hati kita tulus dan ikhlas berjuang di jalan Alloh.” Aku tak mampu berkata-kata,aku terlalu bahagia. Kupeluk lengan Bapak erat. Aku begitu terharu hingga berlinang air mata.
            “Robby…..inikah jalan terbaik yang engkau pilihkan untukku?
            Betapa indah kencana-MU Robby……betapa luas karunia-MU
            Betapa manisnya rahasia-MU…..
            Robby…terima kasih atas keindahan-keindahan misteri-MU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar