Sabtu, 17 November 2012

Cerpen Olahraga Malam Maimun

Cerpen Tema Pesantren
Judul : Olah Raga Malam Maimun
Karya :Fajar Tri Anggono
Alamat: Sitikan Ropoj Kepil Wonosobo Jawa Tengah
Dari Pondok Pesantren Ma'ahidul 'Irfan
Soropaten Gandusari Bandongan Magelang
 
 
OLAH RAGA MALAM MAIMUN

Thok, thok, thok… “Sahur, Sahur, Sahur!!! Teriakannya terdengar keras memenuhi ruangan dalam sebuah area Pesantren Lukman yang bertempat di salamrejo, selopampang, Temanggung. Teriakan keras membuat seluruh santri terbangun dan kaget tergetak suara keras. Maimun, santri asal magelang. Itulah yang biasa meneriakkan suara kerasnya di depan setiap kamar guna membangunkan santri yang masih tertidur lelap, tujuan dari teriakan itu supaya santri yang berkeinginan puasa esok hari dapat memasak untuk santap sahur. Hari ini adalah hari senin, Tanggal 5 januari 2009 M, bertepatan dengan tanggal 15 muharram 1429 H. “Ya, ya, ya… aku bangun! Udahi teriakannya!” salah satu santri terbangun.
“Jam berapa mas?” Tanya santri yang baru terbangun
“Udah jam 03.00 WIB, mau sahur ya?” Tanya maimun
“Gak tahu mau sahur ga, tapi aku laper mau masak!”
“Yah, masak dulu aja! Jangan lupa nanti setelah matang, ajak aku! Aku juga gak nolak kok!” kata maimun memberi tawaran mungil
“OK”
“Mau masak apa?”
“Nasi, tambah sayur kangkung. Mas maimun seneng sayur kayak gitu?”
“Ya, kalau udah laper waidza diberi kangkung, Qooolu. Waidza diberi nasi Qooolu wa Kullu Syaiin Qooolu alias kuntal (Masuk ke perut!).”
“Hahahaha, mas maimun ada-ada saja.”
“Udah, kamu masak dulu. Nanti kalau udah banyak yang masak, bisa telat masalahnya harus antree dulu!”
“Sip! Aku berangkat dulu mas!”
“OK.”
Santri yang baru saja terbangun langsung menuju dapur, sedangkan maimun masih terus-terusan meneriakkan nyanyiannya, Thok thok thok sahur, sahur, sahur…! Di depan kamar 1, sebuah kamar yang sering disebut kamar mati. Kamar 1 disebut kamar mati karena kamar ini sering sepi, jarang ada santri yang masuk karena selain kamar itu kamar yang sering digunakan untuk mujahadah bersama, kamar mati dihuni orang-orang tertentu. Orang tertentu adalah santri-santri yang istimewa, selalu tertib dalam jama’ah, mujahadah, dan seluruh kegiatan pesantren. Di tengah teriakan maimun, terdengar dari dalam “Yah Mas Maimun. Aku bangun.” Alangkah kagetnya maimun mendapati santri yang baru saja terbangun dengan keadaan yang tidak karuan, Baju sudah bersih, sarung dan peci sudah terpakai rapi, lengkap dengan tasbih dan sajadah.
“Kang Zen sudah bangun to?” Tanya maimun sembari bersalaman dengan zen, seorang santri penghuni kamar mati dan termasuk salah satu santri tertua di pesantren Lukman
“Aku begadang mala mini.” Jawabnya singkat
“Begadang? Memang ada apa kang?” Tanya maimun penasaran
“Tidak ada apa-apa, pengen saja aku begadang. Ya udah mas maimun, terusin saja bangunkan santri. Aku ke masjid dulu.” Zen yang sudah rapi pamitan dengan maimun sembari berjalan menuju masjid. Dalam hati maimun hanya dapat terkagum dengan zen yang tertib dan khusyu dalam seluruh kegiatan. “Wah, hebatnya kang zen. Aku pengin tapi kenapa aku tetap merasa keberatan kalau ngelakuin kegiatan kaya kang zen ya? Ah, hidup memang membingungkan?!” Gumam maimun dalam hati. Tiba-tiba di tengah lamunannya, ia tersadar mendengar teriakan keras dari bagian bawah “Mas Maimun, nasinya udah mateng. Sayurnya juga sudah. Kalau mau makan bareng turun kesini!” Bentak Sukro, santri yang terbangun pertama kali karena teriakan maimun yang begitu hebat. “Ya, aku datang.” Jawabnya sembari berlari menuju dapur.
****
Di dapur yang masih sepi…
“Sukro, kang zen hebat ya?” kata maimun mengawali perbincangan di dapur
“Kenapa to mas?” Sukro penasaran
“Dia, udah pinter, tertib, ganteng, ibadahnya juga bagus. Wah, pokoknya banyak deh, aku gak bisa ngatain seluruhnya.”
“Terus gimana mas?”
“Yaaaaa… aku pengen saja kaya dia. Ku akui meski aku sering bangun lebih dulu dibanding santri yang lain, aku jarang ngelakuin tahajud, hajat, dan mujahadah lainnya. Beda dengan kang zen… dia jarang banget tidur. Setiap aku bangunin pasti kang zen udah bangun duluan, malah kayaknya dia gak tidur semalaman. Hebat benar memang?” Maimun begitu besar memuji zen yang rajin dan tangkas dan cakap dalam pekerjaan
“Oh, gitu. Aku juga pengin, tapi aku lebih sering molor dari pada meleknya. Aku juga udah usaha, tapi ketika aku perbanyak begadang, siangnya malah gak lihat dunia, gak ngerasain terik matahari, gak bisa lihat kanan kiri kecuali pas waktu shalat saja!” Sahut sukro yang diam-diam juga mengidolakan zen
“Ah, lebih baik kita jadi diri sendiri saja. Sulit kalau mau meniru orang lain, kenapa? Karena khittah kita dengan mereka itu sudah berbeda. Ya to kro?” Tanya maimun membela diri
“Iya bener juga kata mas maimun ini.”
Obrolan demi obrolan dilakukan, tak terasa nasi tinggal sedikit, namun sayur masih agak banyak. Kebingungan yang dirasakan keduanya, “Kalau aku simpan sayur ini, nanti siang pasti hilang, tapi kalau tidak aku simpan aku gak bisa sarapan, terus kalau sayur ini aku bawa ke kamar dan aku simpan di almari, nanti aku puasa.” Guman Sukro. Berbeda dengan maimun “Nasi sedikit, sayur masih banyak. Besok pagi bisa sarapan neh? Hahaha.”
Keduanya saling bertatap mata, seakan mengutarakan isi hatinya.
“Mas Maimun, baiknya nasi dan sayur sisa ini diapakan?” Tanya sukro mengawali perbincangan. Sukro meminta perbandingan pada maimun karena maimun lebih tua umurnya dibanding sukro, baik umur secara resmi hitungan dari lahir ataupun umur dalam pondok pesantren.
“Terserah kamu saja.” Gaya maimun menyerahkan putusan pada yang empunya nasi
“Saya kasih ke teman saja ya?”
“Gini saja. Aku simpan dulu saja nasi dan sisa sayur ini. Nanti siang kamu kan puasa, terus pagi-pagi aku kasih ke temen yang kiranya butuh makanan.”
“Sip mas. Ya udah, mas yang nyimpen saja nasi dan sisa sayur ini. Aku khawatir kalau aku yang nyimpen sisa ini, nanti siang busuk dan gak kemakan. Kasihan kalau sampai gak kemakan!”
“Yah, aku yang nyimpen saja.”
Nasi dan sisa sayur masakah malam itu akhirnya disimpan maimun. Belum lama maimun menaruh sisa ke dalam wadah, terdengar dari masjid adzan subuh telah dikumandangkan. Maimun segera bergegas berlari menuju masjid sambil membawa sisa nasi yang hendak dibawa ke kamarnya yang kebetulan berdekatan dengan masjid. “Sholatullah salamullah ‘ala toha rosulillah, shalatullah salamullah ‘ala yasin habibillah…” Dendang Maimun berjalan menuju masjid dan memberikan semangat pada santri yang baru saja terbangun dari lelapnya malam.
Qodqomatisshalah… qodqomatisshalaaaaah… muadzin telah mengumandangkan iqamat shubuh, maimun yang berkeinginan menyaingi kerajinan kang zen segera melesat menuju barisan pertama tepat di belakang imam. Namun alangkah baik nasib maimun, ketika imam menakbirkan takbir I’tidal di raka’at awal, maimun yang berbadan tinggi tegak 180 cm teringat kalau dirinya bangun jam 01.30, membangunkan santri sampai jam 03.15 dan makan menemani sahur sukro hingga subuh. Dan endingnya adalah Maimun Belum Wudlu. “Nasib, nasib, nasib. Kenapa inget aku belum wudlu sudah masuk shalat?” gerutu maimun sembari keluar barisan, berjalan ke belakang menerobos 5 barisan shalat untuk melakukan wudlu di tempat wudlu masjid al ikhlas.
Shalat subuh telah dilaksanakan, seperti biasa maimun kembali tertinggal 1 raka’at dan berada di posisi barisan paling belakang. Dalam keterpurukannya berada di barisan belakang, ia malu tertunduk di hadapan Yang Maha Esa di atas karpet merah dengan memegang buah-buah tasbih putih yang ia bawa dari rumah, Maimun tertidur. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB, maimun yang baru saja tersadar langsung melihat jam yang berada persis terpampang jelas di tembok depan langsung teringat kalau ia masih punya nasi dan sayur, sisa sahur sukro tadi malam. “Ya Allah, nasi dan sayurku… jangan-jangan sudah membusuk?!” maimun segera meluncur ke kamar. Tawa riang gembira, dan nafas lega menghias wajah maimun yang sayup belum tersentuh air “Alhamdulillah belum busuk, makan dulu ah! He, kawan-kawanku yang aku hormati dan aku sayangi sepanjang masa. Aku punya sisa nasi dan sayur, bagi siapapun yang akan menemani aku makan maka berhak baginya memilih hidup dengan iman atau mati memilih sirotol mustaqim!” Tawaran dan canda maimun menghias kamar maimun dengan tawa teman-temannya yang berjumlah 10 santri.
“Ya, aku bareng makan sama kamu mun!” Ikhwan menyahut tawaran maimun dengan bangga
“OK, ada yang mau menawar lebih?” tawaran maimun kembali melucut
“Aku tambahkan gorengan tempe!” sahut maulana
“Sip, ada yang tambah lagi?”
“Aku… Ikut nambah dengan rasa laparku di pagi ini.” Fauzun menyahut tawaran
“3… 2… 1… waktu habis! Pemenangnya adalah Ikhwan, Maulana, dan Fauzun. Berarti yang lain sedang puasa!”
Fauzun nyelonong saja kea rah maimun untuk mengambil nasi dan sayur, namun “Eeeeeee, belum saatnya kamu makan. Gorengannya belum dibeli?” maimun menghentikan langkah fauzun. Tak lama maulana yang tadi menawar menambah gorengan segera pergi ke warung dan membeli beberapa gorengan. Sepi menghadap nasi dan sayur tanpa bisa melahap tanpa seorang teman dirasakan fauzun, ikhwan dan maimun. Dalam keheningan itu, tampak maulana kembali dari warung dengan membawa bungkusan hitam agak besar. Dengan kegirangan ketiga orang yang menunggu maulana bersorak gembira menyambutnya.
“Alhamdulillah kembali juga akhirnya.” Ikhwan mengawali obrolan
“Maaf membuat kalian menunggu lama.” Permintaan maaf maulana pada ketiga temannya
“Kenapa Cuma beli gorengan kok nyampe setengah jam? Pasti kamu jajan, makan-makan dulu di sana to?” Ikhwan memarahi maulana yang kembali ke kamar setelah setengah jam pergi ke warung
“Gak, aku gak mungkin menghianati perjanjian dan tawaran yang telah aku ikrarkan. Gini, waktu aku baru nyampe di warung ternyata bahan-bahan gorengan sedang habis dan mendadak beli di indomaret dulu. Aku ditawarin mau nunggu atau kembali dengan tangan hampa?, aku jawab aja mau nunggu! Akhirnya setengah jam aku nunggu bahan gorengan dibeli, bukan Cuma itu disana aku malah bantu bu miyah ngegoreng tempe sampai matang!”
“Oooo, gitu? Atau jangan-jangan kamu ada main sama putri bu miyah? Hayo?” ejek Fauzun yang sudah menahan lapar
“Enggak, enggak, enggak. Aku Cuma pengen aja bantu bu miyah masak!” bela maulana
“Ya udah, perdebatan dan pertengkaran dilanjutkan setelah makan. Sekarang makan dulu saja!” Maimun member aba-aba penting pada ketiga orang yang sedang memperdebatkan kedatangan maulana yang tidak wajar
Nyam, nyam, nyam… keempat santri makan bersama. Lahap demi lahap, butir demi butir nasi ditelan, daun demi daun sayur dirahab, nasi dan sayur sisa sahur sukro telah habis ditelan masa.
“Ghoooooooik, Alhamdulillah…!” Kata Maulana yang sudah kekenyangan
“Sudah lapar semuanya?” Tanya maimun
“Alhamdulillah kang, sudah kenyang kok.” Kata maulana menjawab pertanyaan maimun
“Terus, ada yang merasa kurang?” Tanya maimun kembali
Ketiga orang kebingungan, hanya melongo dan saling tatap diantara ketiga orang yang tampak. Dalam ketegangan itu, maimun segera berkata “Udah, bingung itu boleh tapi tidak boleh lama-lama. Setelah makan kenyang yang kurang di saat ini Rokok. Siapa yang punya?”
“Oh, itu. aku punya tembakau kang. Terus kang maimun punya apa?” Jawab maulana
“aku punya cengkih meski tersisa sedikit. Ada yang punya apa lagi?”
“Aku punya cengkih banyak, mungkin kang fauzun punya sigaret?” kata ikhwan menawarkan cengkihnya yang ia bawa dari rumah. Kebetulan dusun tempat ikhwan tinggal banyak pohon cengkih dan sedang panen. Fauzun mengangguk, dan tanpa berkata apa-apa ia membuka almari mengambil sigaret.
Kini terkumpul sudah bahan-bahan peledak ruangan, tembakau telah disediakan, cengkih telah disiapkan, sigaret telah disodorkan. Sambil ngobrol-ngobrol, keempat santri merakit sebuah peledak ruangan yang dapat melegakan hati dan fikiran. Peledak telah dibuat, keempat orang kebingungan karena belum ada korek di kamar.
“Eh, ngomong-ngomong siapa yang punya korek?” maimun mengawali perbincangan
“Aku gak punya kang.” Fauzun menyahut
Ikhwan dan maulana pun tak punya korek api. Istiqomah dan tenang dalam kamar itu menunggu seseorang datang ke kamar membawa korek untuk diminta bantuannya. 5 menit berlalu, terdengar dari luar kamar dua santri sedang berlarian membawa kegembiraan bagi maimun cs, dengan bawaan berupa batangan rokok. “Kang minta apinya?” maimun yang keluar kamar menghadang kedua santri pembawa gembira. Segera salah satu santri terhenti dan memberikan nyala api rokok pada maimun. Peledak maimun kini telah dinyalakan, maimun kembali ke dalam kamar untuk menularkan bibit-bibit bara api rokok pada teman-temannya.
“Ni, apinya!” Tawar maimun
Peledak maimun berjalan. Ikhwan, maulana dan fauzun bergilir menyalakan masing-masing peledak ruangan. Setelah peladak dinyalakan kembali mereka mengobrol sambil menunggu waktu ngaji pukul 10.30. dalam penantian mereka, datanglah seorang wali santri yang hendak masuk ke kamarnya.
“Eh, itu orang tua siapa?” maulana mengawali perbincangan
“Gak tahu, Tanya saja. Kayaknya dia mau ngirim bekal santri.” Maimun menyahut
Ikhwan dan fauzun adalah santri yang disuruh menemui tamu wali santri. Segera saja ikhwan menanyakan maksud kedatangan wali santri itu. bla bla bla bla… obrolan selesai, wali santri pamit, sedangkan ikhwan dan fauzun kembali ke kamar dengan membawa bungkusan plastic hitam berisi sesuatu yang tak diketahui.
 “Siapa to tadi itu? kok kalian lama banget di sana nemuin tamu itu?” tutur maulana
“Itu pamanku dari wonosobo, sudah lama aku gak ketemu beliau. Pangling aku! Hahah.” Sahut ikhwan
“Itu bungkusan apa?” Tanya maulana kembali
“Gak, tahu. Kita buka aja!” ikhwan memperjelas kata
Bungkusan yang dibawa ikhwan segera dibuka, “Alhamdulillah…” Puji mereka serentak kepada Allah SWT yang mendapati isi bungkusan itu adalah rahapan makanan ringan dan satu buah amplop surat. Mereka kembali merahab makanan itu. hanya maulana dan ikhwan yang sudah merasa kekenyangan tidak ikut merahab makanan. Lahab dan rasa tak puas tampak di wajah fauzun dan maimun, sepertinya mereka berdua sangat kelaparan, padahal baru saja selesai makan sisa nasi dan sayur tadi malam?
Tak berapa lama, makanan ringan telah habis dilanda badai keidakpuasan fauzun dan maimun. Waktu menunjukkan pukul 10.30, waktu mengaji telah dimulai. Ikhwan dan maulana segera meluncur ke tempat pengajian. Fauzun dan maimun masih tercengang di kamar menahan beban perut yang semakin berat.
“Zun, ngaji zun! Aku ijinkan sama ustad saiful, aku lelah!” perintah maimun
“Kang maimun berangkat dulu! Nanti aku nyusul!” jawab fauzun dengan wajah memerah kelelahan menahan perut
“Ya, aku nanti saja!” maimun menyusul perkataan fauzun yang belum memberi jawaban pasti akan keberangkatannya ke madrasah
Tak terasa kedua orang itu tertidur pulas di kamarnya. Di tengah pulasnya tidur mereka, terdengar suara yang membangunkan tidur siang mereka sembari memberikan beberapa tetes air di mata mereka. “Masya Allah, kyai…! Zun bangun kyai operasi ke pondok!” maimun yang terbangun segera membangunkan fauzun yang masih terlelap.
Maimun yang tahu kyai burhan datang ke pesantren segera melesat menuju masjid dan mencari tahu jam berapakah sekarang? Betapa kagetnya hati maimun ketika melihat jam dinding masjid sudah menunjukkan pukul 13.30. maimun segera berwudlu dan menjalankan ibadah shalat dzuhur meski tidak berjama’ah.
Shalat dzuhur telah selesai dijalankan, maimun akan kembali ke kamarnya. Namun di tengah perjalanan menuju kamar, ada seorang santri yang berteriak “Kang Maimun, ada yang mencari kang maimun!” suara itu terdengar dari komplek sebelah. Maimun yang mendengar segera menjawab dengan teriakan yang sama “Siapa? Kalau tidak tahu, suruh saja ke kamarku!”
Bingung dan penasaran timbul di hati maimun, dalam setiap langkah perjalanannya hanya terpikir siapa yang hendak menemuinya. Tak terasa maimun telah sampai kamar
“Assalamu’alaikum…” salam sapa maimun mengawali pertemuan
“Wa’alaikumussalam… benar anda kang maimun ya? Dari temanggung?” jawab orang yang mencari maimun sembari bertanya tentang kebenaran info maimun
“Iya benar saya maimun dari temanggung. Terus bapak ini siapa ya?” Tanya maimun
“Saya pak bahudin dari lengkong, magelang. Saya hanya diberi amanah dari bapak usul lengkong untuk memberikan bingkisan kepada mas maimun karena beberapa hari yang lalu kang maimun telah menolong tetangganya menyelesaikan masalah waris. Ini ada sebuah bingkisan darinya, semoga diterima dengan ikhlas, jangan pandang isinya tapi pandanglah keikhlasan hati yang memberi bingkisan pada kang maimun ini.”
“Memang siapa ya? Saya kok lupa?”
“Bapak Nasrun.” Jawabnya mempertegas
“Oooooh, pak nasrun. Ya, ya, ya saya ingat kalau beliau.”
“Ya sudah kang, berhubung persowanan saya sudah cukup, saya pamit dulu! Assalam’alaikum.” Pak bahudin segera pamit meninggalkan pesantren
“Wa’alaikumussalam…” jawabnya
Waktu telah berlalu, pak bahudin sudah tidak kelihatan. Maimun yang penasaran segera membuka bingkisan itu, dan ditemukan di dalamnya beberapa bungkus roti panggang dan enam paket nasi kuning. Puji syukur kembali ditampilkan maimun, tanpa berpikir lama maimun segera menyantap makanan yang telah diberikan padanya. Namun masih habis 3 paket nasi, perut maimun sudah menolak kedatangan tamu. Maimun segera memberhentikan peMAKANan. Ia merasa sudah tak kuat lagi menampung tamu di perutnya.
****
Waktu menunjukkan pukul 17.30, hampir maghrib. Sukro yang hari ini puasa sedang menyelsaikan peperangannya di medan peperangan…
“Kang maimun…!” teriak sukro dari dapur
“Apa sukro?” Tanya maimun yang mendengar teriakan sukro
“Aku mau buka, ikut gak?”
“Tunggu bentar, aku datang!”
Tak berapa lama maimun mendatangi sukro yang sedang menghadap panci dan wajan. Sukro sedang masak dan hampir matang. Ketika itu, adzan maghrib dikumandangkan, sayur setengah matang dan nasi yang empuk segera disajikan karena sukro yang begitu lapar tak tahan menahannya. Lahapan dimulai, dan tak terasa nasi dan sayur langsung habis bertamu ke perut maimun dan sukro. Setelah selesai melahap makanan, dengan segera mereka menjalankan shalat maghrib, habis maghrib langsung mujahadah.
Dan alangkah baik nasib maimun, sehabis wirid shalat isya ada sesuatu yang menggoyang perutnya. Mual dan mules segera dirasakan maimun, tak tahu apa saja yang sudah masuk di hari itu, maimun yang naas hanya dapat pasrah menjalani kegiatan di malam hari yang sunyi penuh dengan kejenuhan. Waktu demi waktu dilalui, waktu menunjuk pukul 21.00 WIB, maimun hanya berlarian kesana kemari, Kamar-WC, kamar-WC, kamar-WC hingga dinihari masih saja melakukan kegiatan yang sama. Malam yang indah berhias bulan purnama itu dijalani maimun dengan berlarian olah raga malam, dengan menahan kerucukan perut di WC dan menahan perih mual di kamar.
Begitulah nasib baik seorang maimun yang semalaman tidak bisa tidur gara-gara di siang harinya begitu banyak tamu yang mendatangi perutnya. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar